Jingga di Balik Bintang (Bagian Ke-3)




Ternyata malam itu hujan kembali meneteskan airnya. Diiringi tiupan angin yang memaksa masuk rumah lewat lubang-lubang gedheg yang tak lagi rapat itu. Bayangan hitam yang sedari tadi berada di teras lalu melepaskan jasnya. Dilepas jas plastik basah itu perlahan tak terdengar bersuara. Masuk bersalam tanpa ada yang membalas. Menenteng plastik hitam yang terlihat penuh berjejalan, berdesakan di dalam. Plastik itu ditaruh di atas meja sambil mencari-cari kedua anak rumah ini. Sampailah ia di kamar, terlihatlah kakak beradik yang telah tidur beralaskan kasur usang di atas tikar daun pandan, berselimutkan kain jarik coklat satu buah yang dipakai berdua. Segera saja ia mendekati kedua anak tersebut dan tangannya berusaha meraih kain jarik yang sudah terlempar untuk menghalau dinginnya malam. Tangannya membentangkan kain, diselimutkannya di atas tubuh mereka. Jari jemarinya menuju rambut Jingga yang terurai, dengan penuh rasa iba dirinya mengelus-elus manja hingga ke kulit kepala.

Ia berkata pelan, “Rupanya Putra-putriku sudah tidur sangat lelap. Barangkali sedang bermimpi, mau jadi apa mereka di masa yang akan datang. Cita-cita kalian harus tinggi ya Lhe, Nduk! Bapak mau kalian jadi anak kebanggaan Bapakmu ini dan Ibumu. Cepat tumbuh besar dan tambah pintar. Jadilah orang yang bermanfaat bagi orang lain.”

Ternyata pria paruh baya itu adalah Bapak dari Bintang dan Jingga. Panggil saja dengan Pak Surya, lelaki berperawakan tinggi dengan kumis yang tebal dan uban yang lebat. Empat puluh tahun telah Pak Surya lewati dengan banyak hal dari mulai masa kecilnya, bujangnya, menikahnya, sampai merawat kedua belahan hatinya sendiri. Lumayan banyak cerita hidup Pak Sur yang mungkin kalau dibukukan akan menjadi cerita yang menarik. Kisahnya mulai terasa indah ketika bertemu dengan pujaan hatinya kala itu. Pandangan pertama yang ia tahu hanya dari lagu itu ternyata dirinya merasakannya sendiri. Hatinya jatuh dalam pesona Sang Kembang Desa yang santun lagi menawan. Ditambah lagi dengan ketaatannya dalam sembahyang membuat Pak Sur semakin menjadi-jadi rasa cintanya. Jikalau kata pepatah bahwa cinta itu memabukkan, iya memanglah nyata adanya. Sampai-sampai Si Kembang Desa selalu membayangi pikiran Si Bujang Surya dahulu. Rupanya Surya muda adalah orang yang pemalu. Tak pernah berani ia menyatakan perasaan terpendamnya. Cukup menjadi pengagum rahasia sampai bendungan rasa kagumnya tumpah kemana-mana. Hingga waktu tak bisa menunggu, ia takut Sang Gadis Salihah itu direnggut oleh orang lain. Bertemulah mereka di sawah wetan untuk mencari rumput di pinggir sungai.

Surya memanggil Sang Gadis sambil berlari kecil ke arahnya, “ Nimas Ayu, Nimas Ayu.”

Gadis itu mencoba mencari dari mana arah suara itu. Tengok kanan dan kiri tiada dapat ia tahu. Menolehlah ia ke belakang dengan perlahan. Setengah terkejut dirinya melihat ada pemuda yang meneriakinya sambil memegang sabit di tangan kanannya. Sontak membuatnya berlari menjauh karena ia berpikir pemuda tersebut akan berbuat buruk kepadanya.

Surya tetap memanggil perempuan itu, “Nimas Ayu, Nimas Ayu.”

“Dhuh Gusti, apa yang Mas mau? Aku akan pulang. Cepatlah pergi, jangan mengikuti diriku. Niat jahatmu akan ku beri tahukan seluruh warga desa nanti.” Sahut si Gadis ketakutan.

Kembali Surya berkata, “ Lhoh siapa yang mau berniat jahat padamu di siang bolong ini Nimas. Aku Cuma ingin bertanya padamu, itu saja.”

“Lalu buat apa celuritmu kau sapakan padaku. Kau pikir celurit itu tak tajam? Halah pasti kau berdusta! Semoga kau dapatkan azab pedih nanti. Asal kau tahu Gustiku tidak pernah tidur.” Tegas Sang Gadis.

Seakan petir menyambar ruang pikir Surya mendengar perkataan Sang Gadis akan celurit di tangannya. Tak disangka hampir dua kali lapangan bola dirinya mengejar sang Gadis. Karena kelelahan ia putuskan untuk menyudahi pengejaran yang mengalami kesalah pahaman ini.

Surya berbicara pada dirinya sendiri, “Oalah Surya-Surya, kok aku tadi bawa celurit segala. Pantas saja ia lari tunggang langgang melihatku. Gagal sudah aku ingin tahu namanya. Bodoh sekali aku, tenagaku terbuang sia-sia. Dhuh Gusti, mana aku mengejarnya sejauh ini. Haaaaaahhhhhh, gagal total, gagal total. Ini pasti gara-gara aku tak bismillah dahulu.”

Menyesal ia bukan kepalang sambil berkali-kali kakinya ia hentakkan di tanah. Dengan masih bergumam sendirian, Surya kembali menuju karung tempatnya mengambil rumput untuk kelinci-kelincinya.



Alhamdulillah udah bagian ketiga gaes. Mohon maaf kalau ceritanya agak tidak jelas ya. Namanya baru belajar. :)

Nantikan kelanjutan ceritanya ya. Sampai berjumpa dengan Jingga di Balik Bintang bagian keempat. See you.... 

No comments:

Post a Comment

Puisi : Senja Itu

Senja itu anaknya mesen dan jajan yang dipinta mengucap jumpa untuk dirasa dan  dicinta lalu dibayar kepada yang mencipta.  Restueltungguri,...