Bukan
Sarjana Ekonomi, Pertanian, dan Agama
“Le,
tolong ambilkan kangkung di sawah Bolabang! Simbah taruh di bawah pohon pepaya.”
Suara renta itu dengan lembut terengah-engah menghampiriku yang sedang duduk
sambil membaca buku-buku yang menumpuk di meja belajar.
“Inggih Simbah,
sebentar.”
Berangkatlah aku, kukendarai sepeda motor hijau yang
melaju di jalanan cor. Jalan cor ini baru selesai pada bulan Januari tahun ini.
Syukur jalan ini bisa dibuat. Orang-orang menjadi lebih mudah melewatinya. Dahulu
di bulan hujan, kami akan berubah layaknya pembalap-pembalap terkenal dunia.
Berpacu melawan waktu. Lawan kami adalah siput-siput sawah yang lebih lincah
mengendarai kaki-kakinya di atas tanah becek seperti ini.
Satu karung putih berisi sayuran itu
aku angkat menggunakan kedua tanganku, lalu kuhempaskan ke atas pundakku. Berjalan
melewati pematang sawah dengan menggendong beban ternyata tidaklah mudah
apalagi relief tanah dikampungku tidak seperti kampung-kampung di dekat kota
sana. Kontur tanah di sini pegunungan, naik turun, banyak sungai dimana-mana. Bahkan
aku harus melewati jembatan tua yang dibuat oleh swadaya masyarakat untuk
kembali menunggangi sepeda motorku. Ngeri. Sungai di sini sangat dalam dan
curam, bongkahan batunya sebesar gajah-gajah.
“Buuuuk.” Suara
karung sayur yang kuturunkan dari sepeda motorku.
Peganganku terlepas saking beratnya karung itu. Lemahnya lengan-lengan ini yang
hampir dua tahun hanya kugunakan untuk memencet-mencet kotakan listrik itu. Iya
laptop hitamku.
“Mbah, kangkungnya kok seperti ini. Tidak seperti
biasanya. Ada putih-putihnya.” Pelan, aku bertanya pada Simbah.
“Iya Le. Kangkungnya terkena penyakit. Cuaca yang
tidak menentu membuat hama tanaman bisa tumbuh dengan suburnya.”
“Tidak disemprot pestisida Mbah?” Aku kembali bertanya
tentang pestisida seolah aku lulusan pertanian yang ahli. Padahal aku hanya
anak sastra yang lulus saja belum. Mungkin aku adalah peranakan sastra
pertanian. Berimajinasi sedikit tidak masalah bukan?
Aku membantu simbah untuk memilah-milah kangkung
yang masih baik untuk dijual. Tidak banyak nyatanya. Satu karung yang aku
pundak tadi menyisakan setengahnya saja. Sabar iya pundak, hari ini kamu
sedikit dibohongi. Air sumur aku timba. Aku tuangkan ke dua ember besar yang
nantinya untuk membasahi sayurnya agak ketika di jual terlihat sangat segar dan
menggoda para pembeli untuk menukarkan uang-uangnya dengan hijaunya sayur itu.
Jam di dinding berdetak bersama jangkrik-jangkrik
yang tak pernah terjeda diam. Heran. Tak capaikah si jangkrik itu? Malam semakin
malam. Semakin ramai oleh suara malam yang saling membicarakan satu sama lain.
Tiba-tiba tubuhku merasakan ada hawa panas menyentuh
pergelangan kaki. Hembusan napas di daun telingaku sangat kurasakan. Berulang-ulang,
digoyangkannya sekujur tubuhku yang tertidur lelap di depan televisi.
“Le, bangun! Sudah jam 12.” Ini jam 12 malam,
benar-benar tengah malam aku dibangunkan Simbahku. Selama pandemi menyerang
bumi ini, yang awalnya kukira tak akan menjangkiti Indonesia. Ah apalah daya
harapanku ini tak mungkin berdaya di hadapan ketetapan Tuhan, Allah. Aku
memutuskan untuk pulang karena dunia perkuliahan dilakukan secara daring. Mau
memaksa luring? Diriku tak mau mati konyol karena itu.
Kami lalu berangkat menuju pasar pada tengah malam
condong tiga puluh menit. Menerjang dingin yang menusuk kulitku yang telah
terbungkus tiga lapis kain. Tetapi, tetap saja masih tertembus dan membuat
bibirku menggigil-gigil sambil mengendarai kendaraan di gelapnya tikunga dan
tanjakan.
Jual-beli mulai menjamur di semua sisi bagian pasar.
Ada yang menjual donat gula bubuk. Ada yang menjual lele-lele hidup yang
sebelum diberikan ke pembeli oleh penjualnya dipukul kepalanya agar mati. Ada
yang menjual jasa angkut, memanggul dari utara ke selatan atau barat ke timur. Hebatnya,
yang menjual jasa panggul itu ialah para perempuan-perempuan yang sudah beruban
lima puluh sampai 100 prosen rambutnya. Di mana pun mataku kusapukan, kulihat
perempuan-perempuan tua yang gelambir lengannya manggantung. Kerut di kening
seperti kering karena terhempas kemarau. Mereka semua berkelesotan di pasar
termasuk simbahku yang masih asik mencari-cari pembeli menawarkan sayur
kangkungnya. Kain jarik-jarik itu menyelimuti badan mereka.
“Bagaimana Mbah kangkungnya? Laku berapa?” Tanyaku
saat kami berangkat pulang. “Satu unting berapa
Mbah?”
“Kangkungnya harganya jatuh Le. Laku semua tapi
dengan harga yang sangat murah. Satu unting
hanya 400 rupiah.” Simbahku menjawab dengan sedikit menghembus napas
panjang.
“Pasti ini gara-gara Corona Mbah.”Jawabku ketus.
“Hush, sudah Gusti Allah memberikan cobaan seperti
ini pasti ada hikmahnya Le. Kita jadi manusia cuman bisa berusaha dan
selanjutnya tawakal!”
Simbah yang luar biasa di mataku. Bukan hanya simbahku. Tetapi, semua simbah-simbah yang ada di pasar tadi. Mereka bukan sarjana ekonomi tapi pandai berjualan. Mereka bukan sarjana pertanian tapi pandai menanam sayuran. Mereka bukan sarjana agama tapi pandai bersyukur kepada Tuhan.
Restu El Tungguri
No comments:
Post a Comment