Jingga di Balik Bintang (Bagian ke-4)




 
Lalu Surya melanjutkan memotong rerumputan di pinggir kali dekat sawah Bapaknya. Segala jenis rumput tak terkecuali menjadi incaran celurit di tangannya. Karung putih itu akhirnya telah penuh terisi. Diikatlah dengan tali raffia yang sedari berangkat tadi telah Surya kantongi di saku. Kaki dan tangan yang tiada luput dari kotornya lumpur persawahan membuatnya memutuskan untuk menceburkan diri ke kali yang sangat jernih di bawah kaki gunung Braja.
 
Surya bergumam dengan lirih, “Sudah lama aku tak mandi di kali ini, mumpung tidak ada orang. Langsung nyebur aja lah. Ku yakin gerah dunia ini akan terobati dengan cepat.”
 
Kaus merah hasil pemberian calon legislatif itu dilepas dan dilemparkannya di bebatuan. Tanpa menunggu aba-aba, terdengarlah gejolak air tertimpa tubuh Surya yang gempal. Byur byur, sungguh bahagia menikmati potongan surga yang  tepat berada di depan mata. Dayung mendayung seluruh tubuh Surya membuat airnya lama kelamaan menjadi keruh. Belum sadar dirinya, belum terasa bahwa sorotan ciptaan Gusti yang namanya sama dengannya mulai meredup. Seketika semilir angina mulai turun dari atas gunung menapaki relif-relif di bawahnya. Sampai di mana si manusia itu berada terdengarlah bisikan mesra.
 
Suara itu terdengar, “ Surya oh Surya, apa kau lupa dengan kelinci-kelincimu, kasihan mereka menunggu kepulanganmu. Cepatlah kembali dengan rumputmu! Hari akan segera berganti, Surya.”
 
Terkejut sekali dengan suara yang mebisikinya. Ternyata Surya sedang tertidur di bawah pohon rindang. Mata yang merah dan wajah kusut mewarnai kisah sore hari ini. Kaus yang hanya ditutupkan ke badannya segara saja ia pakai dengan tergesa-gesa. “Kreeeekkkk”, bunyi kaus yang sobek di bagian ketiak kiri.
 
“Astagfirullah, sobek. Jadi bolong kayak gini kausku. Mana dingin lagi nih ketiak, kasihan si pohon-pohon ketiakku. Hehe.” Semakin menjelang magrib mungkin kewarasan Surya mulai terganggu. Berjalan melangkahkan kaki menuju rumah dengan cepat. Gendongan karung rumput itu di pundaknya di sepanjang jalan. Setibanya di rumah ia tak langsung masuk, menuju ke belakang rumah tempat kandang kelinci-kelincinya berada. Para kelinci mulai heoboh melihat kedatangan tuannya mebawakan kudapan kesukaaan mereka. Kelinci yang sangat lucu dan imut tak heran banyak orang yang membli kelinci-kelinci ini dari Surya. Sampai-sampai anak-anak di kampungnya menjuluki Surya dengan Mas Kelinci. Entah apa karena dia punya banyak kelinci atau mukanya mirip kelinci. Yang pasti dirinya sangat bahagia, karena hamper setiap hari rumahnya tak pernah sepi dari anak-anak kampungnya yang ingin melihat peliharaannya itu.
 
“Makan yang banyak ya kasihku, kelinciku manisku, pujaan hatiku. Kau yang selalu ada di hidupku. Nah kan mulai gak waras lagi aku. Bersihin badan dulu ah. Sampai jumpa esok ya, Bunga Hatiku.” Katanya sambil berjalan menuju kamar mandi.
 
Setelah selesai, satu keluarga ini berjalan menuju langgar untuk menemuai panggilan Tuhan. Gusti Allah yang selalu mengingatkan bahwa hidup itu punya waktu. Hidup punya waktu, waktu untuk menikmati dunia dan esok yang fana. Seperti biasa sosok yang paling getol mengangtkan seisi rumah untuk selalu bersembahyang tiada lain iya Surya muda. Mungkin hal ini telah mendarah daging dalam dirinya. Ketika sewaktu kecil ia ingat betapa amarah Bapak dan Ibunya yang menggebu-gebu saat balighnya lupa menunaikan perintah-Nya. Lalu, sejenak ia berpikir. Kedua orang tuanya saja melihatnya tidak salat sebegitu marah sekali. Apalagi Sang Pencipta alam semesta jika mengetahui ciptaan-Nya lalai akan kewajiban-Nya.
 
Langgar Ar-Rohim adalah masjid kecil tapi syukur terucap dengan banyaknya jamaah. Muda sampai tua tak pernah absen untuk sembahyang. Riuh anak-anak kecil pun tak luluh terdengar. Walau suara bisingnya memenuhi langit-langit masjid. Suara teriakan, tawa,  kaki terinjak, badan terjatuh, bahkan tangisan semua menyatu mengeruhkan suara takbir imam. Sampai salam juga bising itu tak kunjung diam. Tapi begitulah anak-anak, bersyukur mereka sudah dibiasakan pergi ke masjid sedari kecil. Hal yang penting untuk membiasakan anak melakukan suatu kebaikan.
 
Bakda salat isya para jamaah tak langsung beranjak dari tempat mereka bersila. Seorang berbaju serba putih dan jenggot yang telah memutih itu berdiri tegap mencari celah untuk kedepan Bapak/Ibu jamaah. Bapak itu adalah Bapak Haji Mahmud, ustadz dari desa tetangga yang sering kali diundang takmir untuk memberikan tausiyah setiap malam Jumat. Lajunya ia imbangi dengan tolehan kanan dan kiri sembari menyalami setip orang yang dilewatinya.
 
Pak Haji membuka tausiyahnya dengan salam, “Assalamualaikum Warahmatullahi Wabarakatuh.”
 
Dilanjutkannya dengan ucapan syukur ats kesempatan nikmat dan hidayah-nya serta salawat kepada Nabi. Pada malam ini beliau bercerita tentang Islam yang damai. Betapa agama ini berabad-abad lalu diajarkan bahwa islam yang haqiqi adalah islam yang selalu menjaga perdamaian dan kebaikan. Bukan malah ikut-ikutan tersulut api amarah, karena itulah yang dimau si orang jahat ini. Alangkah sangat indah semua agam di dunia ini hidup berdampingan dengan rasa toleransi yang tnggi sesuai batasan agama masing-masing.
 
Celetuk salah satu jamaah, “Tapi jikalau mereka yang mulai duluan Pak Haji?”
 
“ Kuncinya sabar Mas. Jangan lah kita mudah terbakar. Gusti Allah saja mudah untuk mengampuni hambanya. Masak kita yang hanya sebatas hambanya tak mampu. Tapi kalau dia terlalu berlebihan. Ajaklah ia bertatap muka dengan cara yang santun, nasihatilah dia! Jangan kau nasihati di tempat umum! Sama sahaja kau mempermalukannya.” Pak Haji menjawab dengan lembut.
 
Satu jam tausiyah rutinan itu berlalu. Pulanglah satu demi satu orang-orang di dalamnya menyisakan langgar dengan lampu yang remang diirngi desiran jangkrik malam. Sungguh syahdu malam itu, menutup hari dengan jutaan bintang yang bertaburan di angkasa.
 
“Gusti, kami bersyukur atas nikmat yang telah lalu dan yang akan dating. Berkahilah waktu kami. Esok, aku serahkan garisan hidup kami kepada Engkau dengan tulus hati. Jauhkanlah kami dari segala mara bahaya dan kepung kami dengan ribuan kebaikan. Sungguh kisah manusia siapa yang tahu? Hanya usaha, doa, dan selanjutnya biarkan bumi dan semesta merekamnya.” Doa Surya dalam hati.

Keluarga Surya kembali memasuki rumah gedheg mereka. Ditaruhkannya sajadah di atas meja. Dicantelkannya peci hitam di paku yang terpaku di tiang rumah. Begitu pun Bapak dan Ibunya. Mereka menggantikan pakaian khusus menemui Gusti Allah dengan pakaian usang yang banyak robek sana-sini dan tlutuh getah tanaman-tanaman sawah.

“Lhe, wis gek turua! Biar besuk bisa bangun pagi. Bapa dan Ibu butuh bantuanmu di sawah Bolabang sana.” Berkata ibu Surya.

“Inggih Ibu. Saya segera tidur. Ini mau ganti baju dulu, wudu, lalu langsung tidur.” Sahut Surya kepada ibunya.

Terlelaplah seisi desa dengan hanya bertemankan lampu tintir yang asapnya memenuhi kamar-kamar. Lampu tintir yang setiap ada angin besar masuk di sela-sela gedheg siap terhembus dan mati kapan pun. Apalagi kalau minyak tanah di dalamnya habis. Bisa gelap padam semalam utuh. Makhluk-makhluk Tuhan yang ketika siang mereka bersembunyi, kini menampakkan wajahnya. Sungguh Gusti Allah menciptakan semesta dengan bagian dan peranan masing-masing yang tak pernah merugikan satu sama lain. Yang ada untuk dimengerti dan disyukuri.  


Puisi : Senja Itu

Senja itu anaknya mesen dan jajan yang dipinta mengucap jumpa untuk dirasa dan  dicinta lalu dibayar kepada yang mencipta.  Restueltungguri,...