Puisi: Pena Bumi Buku


  

Pena Bumi Buku

Pena terbangun dari tidurnya di atas lembaran buku usang dan berdebu kemarau, yang tergeletak membentang di atas meja bekas jualan neneknya. Ia dibangunkan oleh subuh yang membunyikan gendang telinganya, yang membuat genderang bertalu-talu di kamar buku. Lompatlah ia menuju air yang mengucur, membasuhi wajah, kepala, tangan, hingga kaki. Melangkah bersama udara terbit, menyusuri nikmat Tuhan yang menembus kulit bahkan sunsum tulang. Membacai kalam-kalam mendalam, menyelami untuk memulai perjalanan di kemudian hari. Sampailah di Surau Buku, tempat para pena mencari ilhamnya.

Suatu ketika, pena sedang melukis huruf demi huruf kisah anak bawang yang kini telah diangkut ke kota menjadi bawang bombai. Begitu bangganya ia, bermetamorfosis dari desanya yang bau menjadi harum parfum. Kisah itu telah separuh dilukisnya. Tiba-tiba tak ada yang menyangka.

Datang dari ujung tinta negeri, namanya adalah pandemi.

Pandemi tertawa melihat mata pena yang pasrah, bak menyerah tak mampu melakukan apa. Ia luberkan tinta di atas ladang buku garapannya. Hancur lebur. Semua sayur hurufnya musnah. 123 halaman luluh lantah.

“Aku bisa mati gila karena ini, siapa ia sebut namanya? Pandemi?”

Pandemi mungkin gabungan dari kata pandai membuat mati. Benar bukan? Tak meleset satu senti.

Para pena menjenguk pena yang nyawanya hampir melayang melewati tenggorakan. Mereka membawakan buah tinta dan tubuh pena baru.

“Kau tak boleh mati karena pandemi! Kita akan lawan dia. Kita akan rampungkan buku garapanmu karena itu penawar kesembuhanmu. Semoga dokter buku itu memang benar.”

“Kami benar-benar melawannya. Ia mulai tertekan, tetapi tak hilang. Ia malah mengancam, tetapi kami tak akan diam. Kami telah membangun benteng menjulang di seluruh penjuru mata angin yang dingin. Kami telah alirkan sungai di depannya. Kau takut air bukan? Kau takut tubuhmu bersih bukan? Kami sudah tahu kelemahanmu.”

“Kami bersama penciptamu di Surau Buku. Kami munajatkan doa untuk menghapusmu dari bumi buku.”

 

 Restu El Tungguri

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Biodata Penulis

 

Dhiya Restu Putra dengan nama panggilan yaitu Restu. Merupakan mahasiswa program studi Sarjana Sastra Daerah/Sastra Jawa angkatan 2018, Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Sebelas Maret Surakarta. Lahir di Kabupaten Wonogiri, 26 Juli 2000. Sangat mencintai dunia permainan kata dan makna dalam puisi. Senang sekali beribadah puisi di waktu-waktu tertentu. Mencintai seni dan menikmati angin di batas terbenamnya matahari. Dhiya Restu Putra mempunyai akun media social Instagram: @restueltungguri, Wattpad: restueltungguri, Youtube: Dhiya Restu Putra, dan Blog: caritaningrestu.blogspot.com.

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Screenshoot

Screenshoot Instagram

Screenshoot Kanal Youtube

No comments:

Post a Comment

Puisi : Senja Itu

Senja itu anaknya mesen dan jajan yang dipinta mengucap jumpa untuk dirasa dan  dicinta lalu dibayar kepada yang mencipta.  Restueltungguri,...