Angkringan dan
Lampu-Lampu Taman
Malam sudah menenggelamkan penuh gedung-gedung
tinggi di kota ini. Jalanan yang lebarnya hampir sama dengan sungai yang
terpanjang di pulau Jawa itu mulai lengang oleh lalu-lalang kendaraan berplat
AD dan sekitarnya. Lampu-lampu taman menguning di setiap pinggir jalan,. Terkadang
cahayanya tidak nampak menerangi jalanan, dikarenakan juntaian-juntaian
ranting-ranting pohon yang lebat dan lupa dipotong oleh petugas dinas
pertamanan kota setempat. Rerumputan di beberapa sudut mulai meninggi setinggi
mata kaki orang dewasa. Sayang, toko-toko di depannya tak terbiasa mencabuti
rumput yang tumbuh menghadap kaki-kaki yang keluar masuk toko. Jangan kau harap
mereka mencabutinya, lalu membuangnya ke tempat sampah. Sudah syukur mereka mau
menyapu saja itu luar biasa. Nanti petugas tak akan bekerja dipikirnya.
Di sudut taman yang redup karena lampu taman yang
pecah menyisakan satu meja yang di atasnya tertata nampan gorengan, kacang, sundukan, dan lainnya. Tempat itu
terdapat satu lampu berdaya lima watt yang aliran listrinya entah diambil dari
mana, entah ganthol dari mana. Waktu
tepat pukul sepuluh malam. Selasa malam. Besuk Rabu.
“Buk, ayo pulang! Sudah pukul sepuluh malam.” Ajakan
seorang pria penunggu meja tersebut.
“Bentar Pak. Biar jam sebelas sekalian. Belum banyak
yang datang membeli dagangan kita.” Sahut seorang wanita yang sedang duduk
menghadap jalan yang mulai sepi itu.
“Ayo sudah, besuk lagi! Sudah sepi kayak gini, mau
nunggu siapa lagi? Yang beli pun gak ada Buk. Ayo-ayo dirapikan sekarang, Buk!
“Yoalah Pak-Pak.
Siapa tahu ada yang beli gorengan lho Pak. Siapa tahu ada yang beli teh anget.
Lumayan kan kalau ada yang beli.”
“Ya sudah. Setengah jam lagi, setelah itu kita
pulang.” Mereka menunggu dengan sabar berharap ada satu atau dua sepeda motor
yang berhenti lalu membeli dagangan mereka.
Setengah jam berlalu. Tak ada satu
pun yang mampir di lapak mereka. Bahkan daun pun tak ada yang duduk di kursi angkringan itu. Lampu-lampu
remang-remang di sudut-sudut lain pun juga mulai dimatikan. Tenda-tenda mulai
digulung. Penggorengan dimasukan ke bawah meja. Kursi dan meja di ikat menjadi
satu lalu disenderkan di tepian taman yang gelap. Kemudian di tutupi dengan
terpal yang amat besar. Pemiliknya pulang.
“Kok ya sepi banget ya Pak. Tidak
banyak orang. Tidak banyak yang beli. Bisa-bisa kita bangkrut jadinya. Gulung
tikar. Dagang kayak gini masak bangkrut, terus mau kerja apa?” Sang istri
bertanya-tanya.
Sang suami menjawab, “Lha gimana
lagi Buk? Adanya kayak gini. Mau gimana lagi? Musimnya paglebug, semua susah Buk. Tidak cuma kita.” Sambil menghela napas
dan menata hatinya.
“Ibuk itu Pak sebenarnya tidak
terlalu mikir tentang itu. Rejeki yang diberi Gusti Allah, ya patut disyukuri.
Walau itu kecil sekali pun. Tapi, si Budi itu lho Pak, kasihan.”
“Kasihan gimana lho Buk?”
“Gimana ta Pak? Bapak tidak tahu?” Sang istri menatap lembut kepada sang
suami. Ia menggeleng tidak tahu menahu. Sang istri melanjutkan, “Kemarin Budi
bilang HP bantuan yang diberi Pak Camat tiga tahun dulu itu sudah susah Pak.
Sudah rusak-rusak terus. Buat ia sekolah bermasalah terus. Budi bilang kelas
dua SMA ini banyak materi dan tugas-tugas. Aku cuman takut anakmu Pak tertinggal
pelajarannya.Budi sering dapat tiga besar di kelas. Jangan sampai Budi turun
nilainya!”
“Bapak tidak tahu Buk, kalau Ibuk
tidak bilang sekarang ini.”
“Budi, Ibuk sudah suruh bilang sama
Bapak. Tapi katanya tidak usah. Takut merepotkan, Bapak.”
“Ayo pulang Buk! Besuk Bapak bakal
putar otak biar HP Budi bisa digunakan kembali. Besuk Bapak bakal cari
pekerjaan-pekerjaan bangunan atau lainnya. Siapa tahu ada dan bisa buat
tambah-tambah.”
Mereka pun akhirnya pulang.
Mengendarai sepeda motor tua Astrea yang platnya sudah mati. Melewati gang demi
gang sempit hingga sampai di depan rumah kecil nan-tua milik keluarga. Sang
istrik mengetuk pintu.
Tok-tok-tok.
“Le, Budi. Ibuk sama Bapak sudah pulang. Bukakan pintunya, Le!”
Keluarlah seorang remaja berusia 15
tahun membukakan pintu sambil mengucek-ngucek matanya, sesekali.
Selasa,29
September 2020
Restu El Tungguri
No comments:
Post a Comment